Posted by Admin MYP |Implementasi Undang-Undang Kesehatan Nomor 6 Tahun 2009 Mengenai Aborsi Terhadap Korban Pemerkosaan Di Indonesia
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG KESEHATAN NOMOR 6 TAHUN 2009 MENGENAI ABORSI TERHADAP KORBAN PEMERKOSAAN DI INDONESIA
Risma Mahardika
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Bagaimana Undang-undang di Indonesia mengatur mengenai aborsi terhadap korban pemerkosaan?
Memiliki buah hati dari darah daging sendiri merupakan Impian Sebagian besar orang. Banyak pasangan suami-istri yang menginginkan hadirnya anak di kehidupan pernikahan mereka. Selain kehamilan yang telah direncanakan, terdapat juga jenis kehamilan yang tidak diinginkan. Kehamilan semacam ini sering kali memberikan dampak negatif bagi perempuan, khususnya jika terjadi pada remaja. Kehamilan yang tidak diinginkan pada remaja perempuan dapat mengakibatkan konsekuensi yang lebih serius, seperti terhentinya proses pendidikan, risiko komplikasi kehamilan karena usia yang masih muda, serta kesulitan dalam kesiapan mental serta kesulitan dalam kesiapan mental untuk menghadapi peran sebagai ibu di masa depan.
BACA JUGA : Urgensi Perlindungan Hukum Bagi Pers Mahasiswa Di Indonesia
Selain seks bebas, kejahatan kesusilaan berupa persetubuhan secara paksa atau pemerkosaan banyak dialami oleh perempuan. Perkosaan atau persetubuhan yang dilakukan secara paksa sering kali menyebabkan kerugian bagi korban, salah satu kerugian atas konsekuensi dari kejadian tersebut adalah dengan menyebabkan kehamilan. Wanita yang mengalami kehamilan akibat pemerkosaan akan menghadapi situasi yang sangat sulit karena ini merupakan kehamilan yang yang tidak diinginkan oleh yang bersangkutan. Namun, jika seorang wanita tidak ingin melanjutkan kehamilannya, satu-satunya pilihan yang tersisa adalah mengakhiri kehamilan. Tindakan aborsi dengan dalih kejahatan pemerkosaan saat ini menjadi perhatian utama. Meskipun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia secara ketat melarang aborsi dalam segala keadaan, Undang-Undang Kesehatan memperbolehkan aborsi dalam kasus indikasi medis.
Pada prinsipnya, Jika dilihat dari sudutpandang Hak Asasi Manusia (HAM), aborsi tidak dapat dibenarkan. Tetapi jika ada suatu hal yang mendesak atau darurat seperti nyawa sang ibu dalam bahaya jika melanjutkan persalinan yang sudah lebih dulu divonis oleh ahli atau dalam kasus kejahatan pemerkosaan, aborsi menjadi hal yang berbeda. Korban kejahatan pemerkosaan mengalami pencabutan hak-hak dasarnya, di mana keberadaan hak asasi manusia (HAM) mereka dilanggar oleh perilaku yang lebih mengedepankan kekejian. Dalam hal ini, korban mengalami kerugian yang besar dan martabat kemanusiaannya yang seharusnya dihormati justru diabaikan, dilecehkan, dan dilecehkan, dan dirusak.
Di Indonesia, sebagai negara yang menjalankan sistem hukum positif, regulasi terkait pengguguran dan pembunuhan kandungan diatur dengan jelas. Aborsi dilarang berdasarkan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang mengatur tindak pidana aborsi dalam pasal 346, 347, 348, dan 349. Pengetahuan mengenai tindakan aborsi ini juga diatur oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan yang menggantikan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Secara prinsip, regulasi kesehatan tersebut sejalan dengan ketentuan pidana yang ada, yang menegaskan larangan bagi setiap individu untuk melakukan aborsi.
Kontroversi tentang legalisasi aborsi muncul karena perbedaan antara regulasi hukum yang ada. Larangan terhadap aborsi dalam undang-undang berarti bahwa orang yang melakukannya dapat dihukum secara pidana. Namun, terdapat pengecualian untuk korban pemerkosaan dan dalam kasus indikasi medis., terdapat dalam Undang-Undang Kesehatan yang memperbolehkan aborsi dalam situasi tertentu jika ada indikasi medis yang mendukung. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), pasal 75 ayat (1) melarang adanya aborsi, Pengecualian terhadap larangan melakukan aborsi diberikan hanya dalam 2 kondisi berikut: a) indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau b) kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Dalam situasi kehamilan yang timbul akibat tindak pemerkosaan, aborsi hanya dapat diperbolehkan apabila terdapat bukti yang menunjukkan konsistensi usia kehamilan dengan waktu terjadinya pemerkosaan, dan didukung oleh keterangan dari penyelidik, psikolog, atau ahli lain yang memperkuat dugaan pemerkosaan. Aborsi dalam konteks kehamilan yang disebabkan oleh pemerkosaan hanya dapat dilakukan sebelum mencapai usia kehamilan 40 hari sejak awal siklus menstruasi terakhir.
Tantangan yang dihadapi oleh korban kejahatan pemerkosaan tidak hanya terbatas pada pengalaman traumatis yang mereka alami, tetapi juga terkait dengan proses hukum terkait tindakan aborsi atas kehamilan yang tidak diinginkan. Korban pemerkosaan dapat menghadapi situasi yang membebani secara emosional selama persidangan, serta perlakuan yang tidak adil dalam upaya mencari keadilan. Oleh karena itu, penting bagi penegak hukum untuk mempertimbangkan dengan seksama aspek-aspek ini dalam memutuskan kasus-kasus aborsi yang terkait dengan pemerkosaan, dengan fokus pada keadilan dan dampak dari tindakan tersebut, sehingga hak-hak korban tetap terjaga dan menjadi prioritas utama.
Dengan adanya legalisasi aborsi berdasarkan UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, pelaku aborsi akibat korban perkosaan seharusnya dimudahkan dalam melaksanakan aborsi tersebut. Tetapi rumitnya prosedur yang ada berdasarkan uraian diatas semakin Membuat korban dibanyak kasus mustahil malakukan aborsi yang menyebabkan implementasi yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
BACA JUGA : Sanksi Hukum Terhadap Kelalaian Seseorang yang Menyebabkan Kebakaran Rumah Penduduk
[1] Dwiana Ocviyanti, dan Maya Dorothea, Aborsi di Indonesia, Indon Med Assoc, 2018, hlm. 213
[2] Zuniar, Ranti, (2022), Pengaturan Aborsi Bagi Korban Pemerkosaan Dalam Perspektif Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia. Repository Universitas Jambi, Hlm. 3
[3] Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 tentang Larangan Melakukan Aborsi
Seluruh informasi hukum yang ada di artikel ini disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum. Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan konsultan hukum berpengalaman dengan klik tombol konsultasi di bawah.
info yang sangat bermanfaat
makasih infonya
terimakasih