Perceraian dengan Alasan Perselingkuhan: Mungkinkah Mengajukan Cerai Tanpa Masa Tunggu 6 Bulan?

Posted by Admin MYP | Perceraian dengan Alasan Perselingkuhan: Mungkinkah Mengajukan Cerai Tanpa Masa Tunggu 6 Bulan?

Perceraian dengan Alasan Perselingkuhan: Mungkinkah Mengajukan Cerai Tanpa Masa Tunggu 6 Bulan?

Perceraian dengan Alasan Perselingkuhan: Mungkinkah Mengajukan Cerai Tanpa Masa Tunggu 6 Bulan?

Abstrak:
Perceraian merupakan fenomena hukum yang kompleks, terutama ketika melibatkan alasan perselingkuhan (zina). Salah satu syarat umum dalam proses perceraian di Pengadilan Agama bagi pemohon yang memiliki alasan selain syiqaq adalah adanya masa pisah rumah atau terapi selama 6 bulan. Artikel ini membahas secara mendalam apakah alasan perselingkuhan yang telah dibuktikan secara sah dapat menjadi dasar untuk mengajukan gugatan cerai tanpa harus melalui masa tunggu 6 bulan tersebut. Dengan menganalisis ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta yurisprudensi Mahkamah Agung, artikel ini menyimpulkan bahwa dalam kondisi tertentu, khususnya ketika perselingkuhan dapat dibuktikan sebagai perzinaan, masa tunggu 6 bulan tidak berlaku dan perceraian dapat diajukan serta dijatuhkan secara langsung.

BACA JUGA : Pertanggungjawaban Hukum atas Kebocoran Data Nasabah: Studi Kasus Kebocoran Data Nasabah Bank Tabungan Negara (BTN)

I. Pendahuluan

Perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami dan istri di hadapan Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam. Proses perceraian di Indonesia tidak dapat dilakukan secara sepihak atau di luar pengadilan, melainkan harus melalui proses hukum yang telah ditetapkan. Salah satu syarat prosedural yang sering menjadi pertanyaan adalah kewajiban untuk menempuh masa pisah ranjang dan rumah tangga (bedakan rumah dan ranjang) atau konseling selama minimal 6 bulan sebelum persidangan pokok perceraian dimulai, sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2008.

Namun, alasan perselingkuhan menempati posisi khusus dalam hukum perkawinan Indonesia, baik secara perdata umum maupun hukum Islam. Perselingkuhan dapat dikategorikan sebagai salah satu alasan perceraian yang paling berat, yang tidak hanya melukai perasaan tetapi juga melanggar janji kesetiaan dalam perkawinan. Pertanyaan hukum yang kemudian muncul adalah, apakah korban perselingkuhan harus menunggu 6 bulan terlebih dahulu, atau dapat langsung mengajukan gugatan?

II. Dasar Hukum Perceraian dan Alasan Perselingkuhan

Sebelum menjawab pertanyaan inti, penting untuk memahami dasar hukum yang mengatur alasan perceraian.

  1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan):

    • Pasal 39 Ayat (2): Perceraian dapat dilakukan karena alasan-alasan antara lain salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain-lain yang sukar disembuhkan.

    • Pasal 19: Hal-hal lain mengenai perceraian diatur dengan Peraturan Pemerintah.

  2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 (PP No. 9/1975):

    • Pasal 14 huruf (d): Salah satu alasan untuk mengajukan permohonan cerai adalah “telah terjadi perzinaan oleh suami atau istri”.

    • Pasal 19: Mengatur tentang kewajiban pengadilan untuk mendamaikan kedua belah pihak.

  3. Kompilasi Hukum Islam (KHI) [Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991]:

    • Pasal 116 huruf (a): Perzinaan merupakan salah satu alasan untuk mengajukan gugatan perceraian.

    • Pasal 130: “Gugatan perceraian karena alasan zina harus disertai dengan alat bukti yang sah.”

Dari ketentuan di atas, jelas bahwa perselingkuhan yang dapat dibuktikan sebagai perzinaan merupakan alasan sah (ground) untuk mengajukan gugatan perceraian.

III. Masa Tunggu 6 Bulan: Tujuan dan Pengecualian

Ketentuan masa tunggu 6 bulan diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Pasal 4 Ayat (1) PERMA ini menyatakan:

“Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari setelah berkas perkara diterima, Hakim wajib menetapkan hari sidang untuk proses mediasi dan sidang pertama untuk pemeriksaan perkara… Jangka waktu proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari untuk perkara tertentu seperti perceraian, paling lama 25 (dua puluh lima) hari kerja untuk perkara lainnya.”

Dalam praktiknya, untuk perkara perceraian yang tidak disertai dengan alasan syiqaq (perselisihan dan pertengkaran), Pengadilan Agama menerjemahkan masa mediasi ini sebagai masa “rekonsiliasi” atau “terapi rumah tangga” yang sering kali berlangsung hingga maksimal 6 bulan. Tujuan utamanya adalah memberikan kesempatan terakhir kepada para pihak untuk berdamai dan menyelamatkan rumah tangga.

Namun, PERMA ini juga memberikan pengecualian. Pasal 5 Ayat (2) PERMA No. 1 Tahun 2008 menyatakan:

“Proses mediasi tidak dilakukan terhadap perkara… yang menurut sifat atau bentuknya tidak mungkin dilakukan mediasi, yang daftarnya ditetapkan oleh Mahkamah Agung.”

Mahkamah Agung melalui SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) No. 3 Tahun 2018 tentang Pemberian Akses Keadilan bagi Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga, meskipun fokus pada KDRT, memberikan panduan penting. SEMA ini menegaskan bahwa untuk perkara-perkara tertentu yang sudah tidak mungkin didamaikan lagi (seperti yang melibatkan kekerasan berat), mediasi tidak dilakukan. Prinsip inilah yang kemudian diterapkan oleh hakim secara analogis untuk kasus perselingkuhan yang telah terbukti nyata dan berat.

IV. Analisis Hukum: Bisakah Tanpa Tunggu 6 Bulan?

Berdasarkan kerangka hukum di atas, jawabannya adalah: BISA, dengan syarat-syarat tertentu.

Berikut adalah analisisnya:

  1. Perselingkuhan sebagai Perzinaan yang Terbukti:
    Alasan “perselingkuhan” harus ditingkatkan menjadi “perzinaan” menurut hukum. Perselingkuhan adalah terminologi sosial, sedangkan perzinaan adalah terminologi hukum yang memiliki unsur pembuktian. Jika Pemohon (korban perselingkuhan) dapat membuktikan sejak awal bahwa telah terjadi perzinaan dengan alat bukti yang sah (misalnya: putusan pengadilan pidana atas perbuatan tersebut, pengakuan, saksi, video, atau chat yang kuat), maka gugatan tersebut masuk dalam kategori perkara yang “sulit untuk didamaikan”.

  2. Penerapan Pengecualian Mediasi:
    Seorang Hakim dapat menggunakan pertimbangan hukumnya (judicial discretion) untuk mengecualikan proses mediasi yang berlarut-larut. Jika dari awal telah jelas bahwa perselingkuhan telah terjadi dan telah melukai hati serta merusak pondasi perkawinan secara irreparable (tidak dapat diperbaiki lagi), memaksakan proses mediasi selama 6 bulan dianggap tidak relevan dan hanya memperpanjang penderitaan korban. Hakim dapat memutuskan untuk tidak melanjutkan mediasi dan langsung memasuki persidangan pokok perkara.

  3. Yurisprudensi Mahkamah Agung:
    Mahkamah Agung dalam beberapa putusannya telah membatalkan putusan pengadilan bawah yang menolak cerai dengan alasan belum menjalani mediasi 6 bulan, padahal perkawinan telah rusak dan tidak mungkin lagi diperbaiki. Hal ini memperkuat posisi bahwa masa tunggu 6 bulan bukanlah harga mati.

  4. Strategi Pengajuan Gugatan:
    Kunci utamanya terletak pada Cara Merumuskan Gugatan (Petitum).

    • Petitum Primer: Mohon agar Pengadilan Agama mengabulkan gugatan perceraian antara Pemohon dan Termohon dengan alasan Termohon telah berbuat zina.

    • Petitum Subsider (Sangat Penting): “Mohon kepada Yang Mulia Hakim agar menyatakan bahwa dalam perkara ini tidak diperlukan lagi proses mediasi/rekonsiliasi mengingat perbuatan Termohon telah sangat merusak dan tidak mungkin lagi untuk didamaikan.”

    • Dalam Posita (Bagian Dalil-Dalil Gugatan), Jelaskan secara rinci kronologi perselingkuhan, upaya-upaya yang telah dilakukan untuk memperingatkan Termohon, dan tunjukkan bahwa perbuatan tersebut telah menghancurkan perkawinan. Lampirkan juga bukti-bukti permulaan yang kuat.

Dengan permohonan (petitum) seperti itu, Hakim akan langsung dihadapkan pada pertimbangan apakah mediasi masih mungkin atau tidak. Jika bukti yang diajukan kuat, besar kemungkinan Hakim akan mengabulkan permohonan untuk mengecualikan mediasi dan melanjutkan langsung ke pembuktian.

BACA JUGA : Implementasi Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 10 Tahun 2010 Terhadap Kebijakan Pengaturan Tortoar dan Pedagang Kaki Lima

V. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:

  1. Gugatan perceraian dengan alasan perselingkuhan dapat diajukan tanpa harus menunggu masa pisah rumah selama 6 bulan, jika perselingkuhan tersebut dapat dibuktikan sebagai perzinaan yang nyata dan telah menyebabkan keretakan rumah tangga yang tidak dapat diperbaiki lagi.

  2. Keberhasilan untuk meniadakan masa tunggu 6 bulan sangat bergantung pada kekuatan alat bukti yang diajukan sejak awal dan perumusan gugatan yang tepat, khususnya dengan memohon pengecualian proses mediasi kepada Hakim.

  3. Hakim memiliki kewenangan diskresi untuk mengecualikan proses mediasi berdasarkan pertimbangan bahwa perkawinan telah rusak total dan tidak ada lagi kemungkinan untuk berdamai.

Oleh karena itu, bagi pihak yang menjadi korban perselingkuhan dan ingin segera mengakhiri perkawinannya, sangat disarankan untuk mengkonsultasikan hal ini kepada Pengacara atau Konsultan Hukum yang berpengalaman dalam hukum keluarga. Persiapan bukti dan perumusan gugatan yang solid sejak awal adalah kunci untuk memperoleh penetapan sidang yang cepat tanpa melalui proses mediasi yang panjang.

Seluruh informasi hukum yang ada di artikel ini disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum. Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan konsultan hukum berpengalaman dengan klik tombol konsultasi di bawah.

Jika terdapat pertanyaan, kami siap membantu. Hubungi layanan pelanggan MYP Law Firm di bawah ini.

15.000+ masalah hukum telah dikonsultasikan bersama kami

GRATIS

MOHAMAD YUSUP & PARTNERS

Law Office kami memiliki dedikasi tinggi dan selalu bekerja berdasarkan profesionalisme dalam memberikan pelayanan hukum kepada klien. Law Office ini memberikan pelayanan jasa bantuan hukum baik untuk pribadi (Privat) maupun Korporasi (corporatte) dan kami dapat memberikan pelayanan jasa bantuan hukum pada wilayah litigasi di setiap tingkat peradilan umum baik keperdataan (civil) maupun kepidanaan (criminal), maupun diluar peradilan (non litigasi)berupa jasa konsultasi, nasehat dan opini hukum, serta negosiasi.

This Post Has 3 Comments

  1. Hassan

    info yang bermanfaat

  2. jo

    makasih

  3. Nunung

    izin nanya pak, udh saya chat via WA

Selamat datang di Blog Kami, silakan beri komentar Anda di artikel ini, berkomentarlah yang sopan dan sesuai isi artikel