Posted by Admin MYP | Implementasi Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 10 Tahun 2010 Terhadap Kebijakan Pengaturan Tortoar dan Pedagang Kaki Lima
Implementasi Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 10 Tahun 2010 Terhadap Kebijakan Pengaturan Tortoar dan Pedagang Kaki Lima
Risma Mahardika
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Sudah seperti hal lumrah jika kita melihat dan membeli makanan dari para pedagang kaki lima yang kerap kali mangkal dan berjualan di trotoar, padahal sudah ada peraturan yang mengatur mengenai penggunaan trotoar bagi pedagang kaki lima dan penjalan kaki.
BACA JUGA : Upaya Hukum Pencegahan Atas Pencemaran Udara Akibat Aktivitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap Di Indonesia
Saat ini, Pedagang Kaki Lima berperan besar yaitu menjadi salah satu penggerak roda ekonomi perkotaan, namun bagai pisau bermata dua, hal ini juga menimbulkan berbagai masalah yang memerlukan penyelesaian yang memerlukan perhatian ekstra dari pemerintahan. Hadirnya pedagang kaki lima (PKL) dianggap sebagai pelanggar kenyamanan dan kecantikan tata kota yang mana telah menggunakan sisi jalan, trotoar atau ruang publik lainnya yang dapat menyebabkan gangguan kedamaian, keteraturan, kerapian lingkungan sekitar, dan keefektifan lalu lintas yang tentu saja hal ini mengganggu hak yang seharusnya didapat oleh pejalan kaki ataupun masyarakat umum. Setiap kota memiliki masalah yang disebabkan oleh Pedagang Kaki Lima tidak terkecuali di Kota Serang, Permasalahan pedagang kaki lima telah diatur oleh hukum dan peraturan-peraturan yang berlaku di lingkungan pemerintahan Kota Serang yang sesuai dengan aturan pelaksanaan otonomi daerah.
Masalah pedagang kaki lima merupakan suatu persoalan sosial yang kerap terjadi di suatu area perkotaan. Ciri yang paling sering menjadi masalah ini adalah pedagang yang berdagang di tempat yang tidak sesuai peruntukannya dengan tidak mempunyai izin resmi dari instansi atau pemerintahan dengan wewenang, seperti berjualan diatas trotoar, dan dibahu jalan atau bahkan membuka tempat usaha permanen yang bukan semestinya dengan alasan sulitnya untuk mendapatkan lokasi yang memiliki daya tarik dan nilai jual yang tinggi.[1]
Perubahan kegunaan trotoar menjadi area berjualan, baik lapak Pedagang Kaki Lima maupun warung yang bersifat sementara, berpotensi menimbulkan kemacetan trasportasi di sekitarnya. Para pejalan kaki menilai aktifitas berjalan terganggu ketika trotoar dialihfungsikan menjadi tempat berdagang dan membuka lapak. Mereka kemungkinan harus berbagi ruang dengan konsumen yang memenuhi lapak Pedagang Kaki Lima atau warung tersebut. Hal ini menyebabkan, banyak pejalan kaki yang memutuskan untuk berjalan di badan jalan daripada harus naik turun antara trotoar dan jalan. Namun, badan jalan yang menjadi pilihan kedua sering kali padat oleh kendaraan bermotor milik para konsumen. Situasi ini jelas mengancam pejalan kaki karena mereka harus berbagi ruang dengan pengguna kendaraan bermotor.[2]
Tentunya aktivitas ini berbanding terbalik dengan aturan yang berlaku, dimana seperti yang dijelaskan pada Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik yang sehat”. Oleh karena itu trotoar merupakan hak mutlak pejalan kaki dan penerapan dan pelaksanaan HAM sudah menjadi tanggung jawab negara dan pemerintah seperti yang tertuang dalam pasal 28I ayat (5) mengatur bahwa untuk menegakkan dan melindungi HAM sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis.
Aturan mengenai trotoar diatur dalam Pasal 4 UU No. 22 Tahun 2009, yang menjelaskan bahwa undang-undang ini bertujuan untuk membina dan menyelenggarakan lalu lintas serta angkutan jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar. Langkah-langkah tersebut dicapai melalui pergerakan kendaraan, orang, dan/atau barang di jalan. Selain itu, undang-undang ini juga mengatur hak pejalan kaki, seperti yang tercantum dalam Pasal 131 Ayat (1), yang menyatakan bahwa pejalan kaki berhak atas fasilitas pendukung seperti trotoar, tempat penyebrangan, dan fasilitas lainnya. Penyediaan fasilitas dan hak pejalan kaki di jalan umum diatur oleh pemerintah sesuai dengan jenis jalan, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 Ayat (2) UU No. 22 Tahun 2009.
Pemerintah Kota Serang telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2010 yang mengatur tentang Ketertiban, Kebersihan, Keindahan. Dalam peraturan ini, disebutkan bahwa setiap orang dilarang untuk berdagang atau membuka lapak dagangannya di trotoar, jalan atau badan jalan, serta taman jalur hijau yang bukan peruntukannya. Berdasarkan Peraturan Daerah tersebut, terdapat larangan yang jelas dalam berjualan di trotoar, tetapi implementasinya di lapangan tidak sesuai. Di Kota Serang sendiri masih sangat banyak ditemui pedagang yang mangkal atau menjajakan dagangannya diatas trotoar.
Kehadiran Pedagang Kaki Lima yang menguasai kawasan dan wilayah yang tidak semestinya yang saat ini terjadi di Kota Serang ini pada kenyataannya belum sesuai dengan implementasi dari Peraturan Daerah Kota Serang tentang Nomor 10 Tahun 2010. Masih banyak dan bahkan dari hari kehari semakin tidak terkendali jumlahnya bermunculan gerai-gerai dan kios-kios baru di tempat-tempat yang tidak seharusnya dan tidak mendapatkan perhatian dari Pemerintah Daerah. Pedagang Kaki Lima yang ada di Kota Serang dinilai sangat mengganggu para pejalan kaki hingga membuat arus lalu lints terhambat. Keberadaan pedagang kaki lima ini juga menambah semrawut dan mengganggu kecantikan kota serta kebersihan lingkungan.
Selama bertahun-tahun, masalah pedagang kaki lima di Kota Serang telah menjadi masalah yang tidak terselesaikan. Ini terutama karena orang-orang menggunakan trotoar untuk berbisnis, menjual es buah, nasi, buah-buahan, lauk-pauk, dan lainnya. Dalam keadaan seperti ini, kita perlu memeriksa apakah penggunaan tanah milik negara oleh pedagang kaki lima melanggar Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan. Karena banyak pedagang kaki lima (PKL) membangun bangunan permanen untuk bisnis mereka. Namun, Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 10 Tahun 2010 menyatakan bahwa “Trotoar adalah jalur pejalan kaki yang umumnya sejajar dengan jalan dan lebih tinggi dari permukaan perkerasan jalan untuk menjamin keamanan pejalan kaki yang bersangkutan.”
Solusi dan strategi yang dikeluarkan oleh pemerintah selalu menjadi hal yang disorot, menurut penulis pemerintah belum maksimal dalam mengatur pedagang kaki lima, pemerintah tidak tegas dan regulasi yang dikeluarkan tidak dapat mencakup semua lapisan masyarakat. Pemerintah sering kali tidak memikirkan kepentingan lapisan kelas bawah dan hanya membuat regulasi yang menguntungkan para kalangan menengah atas. Penulis menilai pemerintah seharusnya melakukan perbaikan dalam sistem penataan pedagang kaki lima, seperti penyediaan pasar dan area berdagang alternatif yang lebih banyak, tidak hanya memikirkan luas wilayah, pemerintah harus mempertimbangkan keramaian dan strategis tempat yang menjadi alternatif agar pedagang kaki lima tetap mendapat pendapatan yang seharusnya. Selain itu, pemerintah perlu memperhatikan mengenai partisipasi masyarakat. Masyarakat adalah elemen yang berperan langsung, sosialisasi kepada masyarakat dan pedagang kaki lima perlu ditingkatkan kualitasnya agar semakin banyak masyarakat yang sadar oleh peraturan.
Disamping itu, diperlukan kolaborasi antara masyarakat, pedagang dan pemerintah dalam mendukung dan melaksanakan perencanaan kota. Hal ini menjadi penting karena peran masyarakat sendiri itulah yang menentukan apakah berlajalan program-program dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah dalam usaha mensejahterakan rakyat. Pendekatan yang humanis kepada masyarakat dan pedagang juga diperlukan, selain itu pendekatan humanis ini bertujuan untuk membuat masyarakat dan pedagang paham mengapa pemerintah membuat kebijakan dan apa tujuan kebijakan ini.
[1] Dhea Preyanita Oktari et al., “Kajian Yuridis Tentang Perizinan Pedagang Kaki Lima Dibahu Jalan Di Kota Pangkalpinang,” AMMA: Jurnal Pengabdian Masyarakat 2, no. 8: September (2023): 1034–43.
[2] Abdillah Ash Shiddiqy and Lutfian Ubaidillah, “Tinjauan Yuridis Terhadap Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Penanganan Perizinan Pedagang Kaki Lima Di Kabupaten Jember,” Indonesian Journal of Law and Justice 2, no. 1 (2024): 10, https://doi.org/10.47134/ijlj.v2i1.3059.
Seluruh informasi hukum yang ada di artikel ini disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum. Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan konsultan hukum berpengalaman dengan klik tombol konsultasi di bawah.
terimakasih infonya
makasih infonya