Posted by Admin MYP | Alasan Dibolehkannya Perceraian Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan
Alasan Dibolehkannya Perceraian Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan
Pasangan suami dan istri yang mengajukan perceraian tidak dengan mudahnya dapat dikabulkan langsung oleh Pengadilan, harus ada alasan-alasan tertentu diperbolehkan mengajukan perceraian ke Pengadilan.
Perceraian yaitu putusnya ikatan perkawinan antara suami dan istri dengan keputusan dari Pengadilan dengan adanya cukup alasan bahwa di antara suami dan istri tersebut sudah tidak dapat hidup rukun lagi sebagai suami dan istri.
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam atau Pengadilan Negeri bagi yang beragama Non Islam sehingga yang kedua belah pihak dalam hal ini suami dan istri bersangkutan tidak dapat lagi di damaikan atau di mediasi.
Di dalam Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Gugatan dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami dan istri itu.
BACA JUGA : Apabila Sudah Cerai, Masihkah Berhak Menerima Warisan dari Mantan Istri?
Berdasarkan penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975, dijelaskan bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian di antaranya:
- Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
- Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa ada alasan yang sah atau karena ada hal yang lain diluar kemampuannya.
- Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
- Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain.
- Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami-istri.
- Antara suami atau istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi di dalam rumah tangga.
Selain alasan tersebut, terdapat alasan tambahan sebagaimana tercantum dalam Pasal 116 kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu:
- Suami melanggar taklik talak, yaitu perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang.
- Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Hal ini akan timbulnya beberapa akibat yang diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan yang menjelaskan mengenai akibat dari putusnya perkawinan karena perceraian yaitu:
- Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya.
- Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
- Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kebijakan bagi bekas istri.
Akibat dari perceraian yaitu adanya anak yang telah dilahirkan dalam perkawinan itu. Dalam hal ini, perceraian akan membawa akibat hukum terhadap anak, yaitu anak harus memilih untuk ikut bersama bapak atau ibu. Hal ini tentu akan memberikan dampak yang kurang baik terhadap anak, terutama jika anak yang hadir saat perceraian masih dibawah umur dan belum dapat memutuskan suatu persoalan.
BACA JUGA : Apabila Istri Yang Menggugat Cerai, Apakah Bisa Dapat Harta Gono-Gini?
Selain permasalahan anak, akibat pokok lainnya dari perceraian yaitu pembagian harta bersama atau gono-gini. Jika sebelum pernikahan suami dan istri tidak melakukan perjanjian pra nikah atau perjanjian pisah harta, maka harta yang didapat selama perkawinan harus dibagi dua saat bercerai.
Referensi:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Seluruh informasi hukum yang ada di artikel ini disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum. Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan konsultan hukum berpengalaman dengan klik tombol konsultasi di bawah.
siap pak, makasih infonya
terimakasih infonya
mantaaap
Pingback: Bisakah Cerai, Apabila Suami Tidak Menghadiri Sidang Perceraian?
Pingback: Bolehkah Istri Menggugat Cerai Tanpa Sepengetahuan Suami? - Mohamad Yusup & Partners