Posted by Admin MYP | Dapatkah Pembagian Waris dilakukan dengan mengesampingkan Hukum Waris Islam?
Dapatkah Pembagian Waris dilakukan dengan mengesampingkan Hukum Waris Islam?
Secara historis sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, di Indonesia sendiri terdapat pilihan hukum dalam penyelesaian waris bagi orang yang beragama Islam. Hal ini sebagaimana dimuat dalam Paragraf Ketiga Angka 2 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa bidang kewarisan adalah mengenai penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut, bilamana pewarisan tersebut dilakukan berdasarkan hukum waris dalam Islam.
Kemudian, sehubungan dengan hal tersebut, para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan dalam pembagian warisan. Penjelasan inilah yang menjadi acuan konsep pilihan hukum dalam pembagian harta warisan bagi orang yang beragama Islam. Pilihan hukum sendiri muncul karena pada saat itu belum ada unifikasi di bidang hukum waris. Pada saat itu, masih berlaku tiga sistem hukum waris, yaitu hukum waris menurut hukum perdata barat (peninggalan Belanda), hukum waris menurut hukum adat, dan hukum waris Islam.
BACA JUGA : Apakah Anak dari hasil Perkawinan Siri Berhak menjadi Ahli Waris?
Pilihan hukum tersebut merupakan perwujudan dari kehendak para pihak yang berperkara dalam pembagian warisan untuk menentukan hukum apa yang digunakan dalam penyelesaian sengketa waris yang akan diajukan ke Pengadilan. Menurut Abdul Gani Abdullah dalam Dalam Sepuluh Tahun Undang-Undang Peradilan Agama (hlm. 52), asas pilihan hukum ini berguna untuk menghindarkan dari ketidaksepahaman atau ketidaksepakatan dalam menentukan hukum dan untuk tidak bergantung pada agama masing-masing.
Dengan demikian, para pihak yang berperkara bebas untuk memilih antara hukum perdata barat, hukum adat, ataupun hukum waris Islam. Sehingga pengadilan yang berwenang dalam menyelesaikan perkara waris bergantung pada hukum apa yang dipilih. Dengan kata lain, orang Islam dapat menyelesaikan perkara waris di Pengadilan Negeri dengan berdasarkan KUHPerdata atau secara adat dengan menggunakan sistem hukum adat, ataupun di Pengadilan Agama berdasarkan hukum waris Islam.
Akan tetapi, setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, asas pilihan hukum atau hak opsi tersebut dihapuskan. Di dalam Paragraf Kedua Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama dinyatakan bahwa:
“… kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan: “Para Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan”, dinyatakan dihapus.”
Dengan penghapusan pilihan hukum atau hak opsi tersebut, berarti penyelesaian sengketa atau perkara pembagian warisan bagi orang beragama Islam menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama dan diselesaikan berdasarkan hukum waris Islam.
BACA JUGA : Jeratan Hukum Penyerobotan Tanah
Perlu diketahui bahwa salah satu asas dalam hukum waris Islam adalah asas ijbari (paksaan). Sebagaimana diterangkan Menurut Aunur Rohim Faqih dan Ahmad Sadzali dalam Kaidah-Kaidah Hukum Islam (hlm. 49), di dalam hukum Islam mengenai hukum waris terdapat kaidah hukum yang berbunyi: “Al-Istihqaq ka al-irtsi laa yasquthu bi al-isqath”, artinya: “Kepemilikan hak seperti warisan, tidak dapat gugur (meskipun) dengan digugurkan”.
Maksud dari kaidah tersebut adalah jika seseorang mendapatkan hak berupa warisan, maka hak tersebut tidak dapat digugurkan oleh orang yang menerimanya, meskipun orang yang menerima hak tersebut menyatakan bahwa ia menggugurkan haknya itu. Artinya, hak tersebut tetap melekat pada penerimanya. Kemudian, dalam lampiran Kompilasi Hukum Islam (KHI), serangkaian pasal-pasal di dalam Bab Hukum Kewarisan juga mengandung asas Ijbari. Pada Pasal 187 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara tegas dikatakan:
Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah merupakan harta waris yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak.
Sedangkan mengenai besarnya bagian waris bagi ahli waris diatur di dalam Pasal 176 sampai dengan Pasal 182 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Ketentuan mengenai harta bersama ini dapat merujuk pada Pasal 85 sampai dengan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Terutama, pada Pasal 96 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI) dikatakan bahwa:
Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
Kemudian berdasarkan Pasal 171 huruf e Kompilasi Hukum Islam (KHI), harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat. Adapun sebelum harta peninggalan itu dibagikan, ahli waris harus memenuhi kewajiban dari harta peninggalan tersebut, seperti:
- biaya perawatan ketika sakit (jika sakit);
- pengurusan jenazah;
- pembayaran hutang;
- serta pemberian untuk kerabat, termasuk dalam hal ini wasiat.
Setelah semua itu sudah dipastikan, maka selanjutnya dihitung bagian masing-masing dari ahli waris. Setelah semua bagian diketahui oleh semua ahli waris dan sesuai dengan kesepakatan musyawarah. Hal ini sebagaimana diatur di dalam Pasal 183 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan:
Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.
Kemudian, agar memiliki kekuatan hukum, pembagian tersebut dilakukan di Pengadilan Agama dengan cara mengajukan permohonan.
Referensi:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Abdul Gani Abdullah. Dalam Sepuluh Tahun Undang-Undang Peradilan Agama. Jakarta: Ditbinbapera, 1999
Aunur Rohim Faqih dan Ahmad Sadzali. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press, 2018
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
Paragraf Keempat Angka 2 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Seluruh informasi hukum yang ada di artikel ini disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum. Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan konsultan hukum berpengalaman dengan klik tombol konsultasi di bawah.
makasih boss infonya
infonya membantu sekali