Apakah Anak dari hasil Perkawinan Siri Berhak menjadi Ahli Waris?

Posted by Admin MYP | Apakah Anak dari hasil Perkawinan Siri Berhak menjadi Ahli Waris?

Apakah Anak dari hasil Perkawinan Siri Berhak menjadi Ahli Waris?

Apakah Anak dari hasil Perkawinan Siri Berhak menjadi Ahli Waris?

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Undang-Undang Perkawinan), dijelaskan bahwa perkawinan merupakan suatu ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk sebuah keluarga.

Dalam Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam menyatakan, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal tersebut menjelaskan bahwa: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu”.

BACA JUGA : Jeratan Hukum Penyerobotan Tanah

Kemudian Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan bahwa: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”

Pencatatan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan hanya merupakan suatu bukti otentik yang melindungi hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan. Pencatatan perkawinan menjadi syarat formal untuk legalitas atas suatu peristiwa yang dapat mengakibatkan konsekuensi yuridis baik dalam hak-hak keperdataan maupun kewajiban nafkah dan hak waris.

Akan tetapi, pada kenyataannya terdapat banyak perkawinan Warga Negara Indonesia (WNI) yang hanya memenuhi tuntutan agama saja berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan. Sedangkan, tuntutan administratif berdasarkan Pasal 2 ayat (2) tidak dipenuhi karena perkawinannya tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah di Kantor Urusan Agama atau Catatan Sipil. Tanpa adanya pencatatan resmi, maka anak yang lahir dari pernikahan tersebut atau pernikahan siri hanya akan memiliki hubungan hukum dengan ibu dan keluarga ibu.

Dalam Pasal 863 dan Pasal 873 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), anak luar kawin yang berhak mendapatkan warisan dari ayahnya adalah anak luar kawin yang diakui oleh ayahnya (pewaris) atau anak luar kawin yang disahkan pada waktu dilangsungkannya perkawinan antara kedua orang tuanya.

Sementara itu, anak luar kawin yang tidak sempat diakui atau tidak pernah diakui oleh pewaris yaitu: ayahnya, dijelaskan lebih lanjut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 yang menguji Pasal 43 ayat  (1) Undang-Undang Perkawinan.

BACA JUGA : Bisakah Perceraian Terjadi Karena Talak Satu

Pasal tersebut menjelaskan, bahwa “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.

Oleh karenanya, anak luar kawin tersebut harus dapat membuktikan bahwa dirinya sebagai anak kandung dari pewaris. Namun, pada Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan: apabila terjadi pengakuan dari ayahnya, sehingga menimbulkan hubungan hukum antara pewaris dengan anak luar kawinnya, maka pengakuan anak luar kawin tidak boleh merugikan pihak istri dan anak kandung pewaris.

Dalam hal Pembuktian adanya hubungan hukum dari anak hasil perkawinan siri, tidak menyebabkan anak tersebut dapat mewarisi dari ayah kandungnya meski telah dibuktikan melalui teknologi. Hal ini dikuatkan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia, yang menyatakan bahwa anak hasil pernikahan siri hanya berhak atas wasiat wajibah. Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa bahwa pernikahan di bawah tangan hukumnya sah selama terpenuhi syarat dan rukun nikah, akan tetapi haram jika menimbulkan mudharat atau dampak negatif.

Namun perkawinan siri dipandang tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan dan sering kali menimbulkan dampak negatif terhadap istri dan anak yang dilahirkan terkait hak nafkah dan hak waris. Penuntutan akan hak sering menimbulkan sengketa jika tidak adanya bukti resmi perkawinan yang sah.

Perkawinan siri menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan perkawinan yang tidak sah, karena perkawinan siri merupakan penyimpangan dari ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Perkawinan siri tidak dapat mengingkari adanya hubungan darah antara ayah biologis dan anak itu sendiri. Konsekuensi dari pernikahan siri adalah istri dan anak kapan saja dapat ditinggalkan suami, istri tidak dapat memenuhi tunjangan finansial untuk membesarkan anak, istri sering memikul tanggungjawab membesarkan anak sendiri, anak tidak punya hak waris atas harta benda peninggalan ayahnya, anak tidak punya status yang jelas tentang ayahnya sehingga sulit membuat akta kelahiran.

Dampak hukum dari pernikahan siri akan terasa ketika pernikahan siri mengalami perceraian, karena pihak pria yang melakukan pernikahan siri tidak mau bertanggungjawab atas biaya pendidikan dan kebutuhan anak. Selain hak waris, anak-anak hasil pernikahan siri akan kesulitan mendapatkan akta kelahiran, sebab kedua orang tua tidak memiliki dokumen pernikahan atau akta nikah. Nikah siri tidak dapat disahkan oleh negara kecuali jika dilakukan penetapan atau pengesahan.

Referensi:

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 127, sebagaimana telah diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3080

Rachmadi Usman, Makna Pencatatan Perkawinan dalam Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 14-Nomor 3, September 2017, halaman 256

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Kedudukan Anak Luar Nikah Pasca Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010

Rachmadi Usman, supra note nomor 1, halaman 259

Seluruh informasi hukum yang ada di artikel ini disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum. Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan konsultan hukum berpengalaman dengan klik tombol konsultasi di bawah.

Jika terdapat pertanyaan, kami siap membantu. Hubungi layanan pelanggan MYP Law Firm di bawah ini.

15.000+ masalah hukum telah dikonsultasikan bersama kami

GRATIS

MOHAMAD YUSUP & PARTNERS

Law Office kami memiliki dedikasi tinggi dan selalu bekerja berdasarkan profesionalisme dalam memberikan pelayanan hukum kepada klien. Law Office ini memberikan pelayanan jasa bantuan hukum baik untuk pribadi (Privat) maupun Korporasi (corporatte) dan kami dapat memberikan pelayanan jasa bantuan hukum pada wilayah litigasi di setiap tingkat peradilan umum baik keperdataan (civil) maupun kepidanaan (criminal), maupun diluar peradilan (non litigasi)berupa jasa konsultasi, nasehat dan opini hukum, serta negosiasi.

This Post Has 5 Comments

  1. Silvia

    tambah2 ilmu, makasih pak

  2. (No Name)

    lama amat pak, baru posting lagi

  3. jatna

    ok makasih pak infonya

  4. kuyya

    jejak aja dulu

Selamat datang di Blog Kami, silakan beri komentar Anda di artikel ini, berkomentarlah yang sopan dan sesuai isi artikel