Posted by Admin MYP | Langkah hukum apabila Akta Jual Beli (AJB) Tanah disertifikatkan oleh pihak lain
Langkah hukum apabila Akta Jual Beli (AJB) Tanah disertifikatkan oleh pihak lain
Bukti Hak atas Tanah
Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, bahwa sertifikat tanah adalah surat tanda bukti hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Kemudian dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) juga mengatakan bahwa penerbitan surat-surat tanda bukti hak (sertifikat tanah) atas pendaftaran tanah merupakan alat pembuktian yang kuat. Akta Peralihan Hak atas Tanah yang Dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Pertama-tama, tentang peralihan hak atas tanah (khususnya melalui jual beli) disebutkan dalam Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang berbunyi:
“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Akta jual beli tersebut juga patuh pada syarat sahnya suatu perjanjian yang harus memenuhi ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang menyatakan bahwa supaya terjadi perjanjian yang sah, perlu dipenuhi 4 syarat, yaitu:
Syarat sahnya perjanjian terdiri dari: | ||
1 | Kesepakatan para pihak dalam perjanjian (agreement) |
Syarat Subjektif |
2 | Kecakapan para pihak dalam perjanjian (capacity) | |
3 | Suatu hal tertentu (certainty of terms) |
Syarat Objektif |
4 | Sebab yang halal (considerations) |
Dalam suatu Akta Jual Beli (AJB) yang sudah mengandung empat syarat yang disampaikan di atas, berlaku juga asas pacta sunt servanda, yaitu asas kepastian hukum dalam perjanjian, yaitu para pihak dalam perjanjian memiliki kepastian hukum dan karenanya dilindungi secara hukum, sehingga jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian, maka hakim dengan keputusannya dapat memaksa agar pihak yang melanggar itu melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian. Jika hanya memiliki Akta Jual Beli (AJB) saja belum sepenuhnya menguatkan status anda sebagai pemilik sebuah tanah. Oleh sebab itu, setelah memiliki Akta Jual Beli (AJB), pemilik tanah biasanya akan meningkatkan statusnya menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM).
BACA JUGA : Memahami Restorative Justice dan Syaratnya
Hak milik adalah jenis kepemilikan rumah atau tanah yang mempunyai kekuatan hukum terkuat, terpenuh, dan sifatnya turun temurun serta dapat dialihkan (dijual, dihibahkan, atau diwariskan). Sertifikat Hak Milik (SHM) adalah sertifikat atas kepemilikan penuh hak atas lahan dan/atau tanah yang dimiliki sang pemegang sertifikat
Objek Sengketa Tata Usaha Negara
Yang menjadi objek gugatan pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah keputusan tata usaha negara. Sertifikat hak atas tanah diterbitkan oleh BPN dan BPN merupakan badan atau pejabat tata usaha negara, sehingga jika ada sengketa terhadap sertifikat hak atas tanah yang berhak memeriksa dan mengadili adalah PTUN sebagai yang memiliki kompetensi/ kewenangan absolut. Namun sebelum masuk ke Pengadilan, ada upaya yang bisa ditempuh untuk pembatalan penetapan hak atas tanah, jika seseorang merasa dalam penerbitan sertifikat tanah ada cacat hukum administratif sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
Dalam Pasal 106 ayat (1) jo. Pasal 119 Permen Agraria/BPN 9/1999, dikatakan bahwa keputusan pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum administratif dalam penerbitannya, dapat dilakukan karena permohonan yang berkepentingan atau oleh pejabat yang berwenang tanpa permohonan. Pembatalan hak atas tanah yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang dilaksanakan.
Jadi, apabila ada yang merasa dirugikan dengan adanya penerbitan sertifikat hak atas tanah, dan dia menganggap penerbitan tersebut cacat hukum administratif, maka dapat mengajukan pembatalan penetapan hak atas tanah.
Dalam Pasal 107 Permen Agraria/BPN 9/1999, disebutkan bahwa cacat hukum administratif mencakup:
- kesalahan prosedur;
- kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan;
- kesalahan subjek hak;
- kesalahan objek hak;
- kesalahan jenis hak;
- kesalahan perhitungan luas;
- terdapat tumpang tindih hak atas tanah;
- data yuridis atau data data fisik tidak benar; atau
- kesalahan lainnya yang bersifat administratif.
BACA JUGA : Memahami Putusan Ultra Petita
Referensi:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lmbaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043
Undang–Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana yang telah diubah kedua kali dengan Undang–Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Seluruh informasi hukum yang ada di artikel ini disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum. Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan konsultan hukum berpengalaman dengan klik tombol konsultasi di bawah.
mantap bossqiu
terimakasih infonya pak
makasih infonya
Pingback: Sertifikat tanah ganda atas tanah yang sama dan langkah hukumnya
Pingback: Inilah Hak-Hak Istri Apabila Menggugat Cerai Suami