Posted by Admin MYP | Pada saat kapan Putusan Pengadilan dapat dikatakan telah Berkekuatan Hukum Tetap
Pada saat kapan Putusan Pengadilan dapat dikatakan telah Berkekuatan Hukum Tetap
Putusan Pengadilan telah Berkekuatan Hukum Tetap dalam Perkara Pidana
Bahwa putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap disebut dengan inkracht van gewijsde. Ketentuan mengenai putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap dalam perkara pidana tertuang dalam Pejelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi.
BACA JUGA : Akibat Hukum adanya Kawin Kontrak di Indonesia
Berdasarkan bagian penjelasan tersebut, putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap memiliki tiga arti. Pertama, putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap adalah putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kedua, putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap adalah putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ketiga, putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap adalah putusan kasasi.
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) cara mengetahui putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap adalah dengan memastikan sejumlah kriteria sebagai berikut:
- Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding setelah waktu 7 hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir, kecuali untuk putusan bebas (vrijspraak), putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechts vervolging), dan putusan pemeriksaan acara cepat karena putusan-putusan tersebut tidak dapat diajukan banding.
- Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu 14 belas hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa.
- Putusan kasasi.
Menurut M. Yahya Harahap dalam Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, upaya Peninjauan Kembali (PK) tidak dapat dilakukan pada putusan yang belum berkekuatan hukum tetap, sebab putusan yang belum inkracht hanya dapat ditempuh dengan banding atau kasasi. Peninjauan Kembali (PK) baru terbuka setelah banding atau kasasi telah tertutup dan Peninjauan Kembali (PK) tidak boleh melangkahi keduanya (halaman 615).
Dengan demikian, putusan yang bisa diajukan Peninjauan Kembali (PK) haruslah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Permintaan peninjauan kembali dilakukan karena putusan sudah tidak dapat lagi dilakukan banding atau kasasi. Bahkan, permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan yang berkekuatan hukum tetap, tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut.
Putusan perkara pidana yang dapat diajukan Peninjauan Kembali (PK) oleh terpidana atau ahli warisnya adalah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Ketentuan ini haruslah dimaknai secara eksplisit tersurat dan tidak boleh dimaknai lain, seperti pengajuan Peninjauan Kembali (PK) dilakukan oleh jaksa penuntut umum. Adapun, permintaan Peninjauan Kembali (PK) dilakukan atas dasar:
- Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
- Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata bertentangan satu dengan yang lain.
- Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Putusan Pengadilan telah Berkekuatan Hukum Tetap dalam Perkara Perdata
Dalam perkara perdata, kapan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap / inkracht? Untuk menjawab hal tersebut maka perlu merujuk pada ketentuan dalam Penjelasan Pasal 195 Herziene Indonesich Reglement (HIR), yang berbunyi:
Dalam perkara perdata oleh karena pihak yang menang telah memperoleh keputusan hakim yang menghukum pihak lawannya maka ia berhak dengan alat-alat yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk memaksa pihak lawan guna mematuhi keputusan hakim itu.
Hak ini memang sudah selayaknya, sebab kalau tidak ada kemungkinan untuk memaksa orang yang dihukum maka peradilan akan tidak ada gunanya. Dalam hal ini tidak ada jalan lain bagi pihak yang menang dari pada menggunakan haknya itu dengan perantaraan hakim untuk melaksanakan putusan tersebut, akan tetapi putusan itu harus benar-benar telah dapat dijalankan, telah memperoleh kekuatan pasti, artinya semua jalan hukum untuk melawan keputusan itu sudah dipergunakan, atau tidak dipergunakan karena lewat waktunya, kecuali kalau putusan itu dinyatakan dapat dijalankan dengan segera, walaupun ada perlawanan banding atau kasasi.
Adapun, tenggang waktu yang perlu diperhatikan dalam mengajukan banding atau kasasi dalam perkara perdata adalah sebagai berikut:
- Untuk mengajukan banding, permohonan diajukan dalam waktu 14 hari sejak diucapkan putusan pengadilan negeri atau sejak putusan diberitahukan kepada yang bersangkutan jika ia tidak hadir ketika putusan diucapkan;
- Untuk mengajukan kasasi, permohonan disampaikan dalam tenggang waktu 14 hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan diberitahukan kepada pemohon.
Dengan demikian, putusan pengadilan dinyatakan berkekuatan hukum tetap adalah ketika putusan tidak diajukan banding atau kasasi setelah 14 hari sejak putusan diucapkan atau diberitahukan kepada pemohon, maka putusan dinyatakan berkekuatan hukum tetap.
Kemudian apakah putusan yang diajukan Peninjauan Kembali (PK) belum berkekuatan hukum tetap, dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 67 Undang-Undang Mahkamah Agung. Putusan perkara perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan peninjauan kembali dengan alasan sebagai berikut:
- Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
- Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan.
- Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut.
- Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
- Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.
- Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Dengan demikian berdasarkan ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa putusan perkara perdata yang diajukan Peninjauan Kembali (PK) haruslah sudah berkekuatan hukum tetap. Perlu diperhatikan bahwa seperti halnya dengan perkara pidana, pengajuan Peninjauan Kembali (PK) pada putusan perkara perdata tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.
BACA JUGA : Definisi dan Perbedaan Pro bono dan Prodeo
Referensi:
Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Herziene Indonesich Reglement (HIR)
Reglement voor de Buitengewesten (RBG)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 2010 / Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5150
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016
Seluruh informasi hukum yang ada di artikel ini disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum. Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan konsultan hukum berpengalaman dengan klik tombol konsultasi di bawah.
makasih pakk
terimakasih ilmunya pak
siap, makasih
Pingback: Regulasi Pemasangan Baliho Kampanye, Jangan Sampai Salah!
Pingback: Definisi dan jenis-jenis Penganiayaan serta jerat hukumnya | Pengacara