Posted by Admin MYP | Hibah kepada Orang Tua: Apakah Dapat Dianggap sebagai Utang?
Hibah kepada Orang Tua: Apakah Dapat Dianggap sebagai Utang?
Pertanyaan lain yang sering muncul adalah, apakah hibah yang diberikan kepada orang tua dapat dianggap sebagai utang? Jika merujuk pada Pasal 1666 KUH Perdata, hibah adalah pemberian barang yang dilakukan secara cuma-cuma dan tanpa dapat ditarik kembali oleh pemberi hibah. Dengan demikian, hibah yang sudah dilakukan tidak dapat diperlakukan sebagai utang atau kewajiban pembayaran.
BACA JUGA : Bisakah Istri Siri Mengajukan Cerai? Begini Penjelasannya
Sementara itu, perjanjian utang-piutang atau pinjam-meminjam diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata dan memiliki prinsip yang berbeda. Dalam perjanjian utang-piutang, terdapat kewajiban untuk mengembalikan sesuatu dalam bentuk yang sama, seperti yang tercantum dalam Pasal 1754 KUH Perdata mengenai pinjam pakai habis. Oleh karena itu, hibah dan utang-piutang adalah dua hal yang berbeda secara mendasar.
Sebagai contoh, jika seorang anak memberikan emas atau uang kepada orang tuanya, maka hal itu masuk dalam kategori hibah, bukan utang. Meskipun orang tua mungkin merasa berkewajiban untuk mengembalikan sesuatu, secara hukum hibah tersebut sudah sah dan merupakan hak penerima hibah sepenuhnya. Sehingga, orang tua tidak dapat dianggap berutang dan berhak penuh atas barang yang telah dihibahkan.
Hibah dalam KUH Perdata: Pemberian Tanpa Imbalan yang Tidak Dapat Ditarik Kembali
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), istilah hibah memiliki kesamaan dengan pemberian, di mana seorang pemberi menyerahkan barang atau haknya tanpa menerima imbalan atau pembayaran. Hibah diatur secara khusus dalam Pasal 1666 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa hibah adalah perbuatan hukum di mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang kepada orang lain tanpa mengharapkan pembayaran dan dengan niat untuk memberi sesuatu kepada penerima hibah. Hibah ini dilakukan dengan sukarela dan tanpa ada kewajiban mengembalikan barang yang telah diberikan.
Apakah Hibah Harus Dilakukan dalam Akta Notaris?
Sering kali muncul anggapan bahwa hibah hanya sah jika dituangkan dalam bentuk akta notaris. Namun, benarkah demikian? Berdasarkan Pasal 1683 KUH Perdata, penerimaan hibah memang harus dilakukan secara tertulis, baik melalui surat hibah itu sendiri atau akta autentik. Namun, perlu diketahui bahwa SEMA No. 3 Tahun 1963 mengklarifikasi bahwa ketentuan dalam Pasal 1682 KUH Perdata yang mengharuskan hibah dilakukan dengan akta notaris tidak lagi berlaku.
Artinya, hibah masih dapat sah dilakukan meski tidak dituangkan dalam akta notaris, asalkan memenuhi persyaratan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, terutama terkait dengan penerimaan hibah yang dilakukan oleh penerima selama penghibah masih hidup.
Kesimpulan
Secara garis besar, hibah adalah suatu perbuatan hukum yang dilakukan dengan sukarela tanpa adanya imbalan atau pembayaran. Meskipun ada anggapan bahwa hibah harus dilakukan dengan akta notaris, ketentuan ini tidak lagi berlaku setelah adanya klarifikasi dalam SEMA 3/1963. Selain itu, hibah tidak dapat dianggap sebagai utang, meskipun diberikan kepada orang tua. Hibah yang diberikan merupakan hak penerima secara penuh, dan pemberi hibah tidak dapat menariknya kembali.
Penting untuk memahami perbedaan mendasar antara hibah dan utang-piutang agar kita dapat mengaplikasikan hukum dengan tepat sesuai ketentuan yang berlaku.
BACA JUGA : Awas Hati-hati, Netizen yang Berkomentar Body Shaming dapat di Pidana
Seluruh informasi hukum yang ada di artikel ini disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum. Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan konsultan hukum berpengalaman dengan klik tombol konsultasi di bawah.
terimakasih
info yang sangat membantu
terimakasih