Posted by Admin MYP | Perbedaan Pembuktian dalam Perkara Pidana dan Perkara perdata
Perbedaan Pembuktian dalam Perkara Pidana dan Pembuktian dalam Perkara perdata
Pembuktian dalam perkara pidana berbeda dengan pembuktian dalam perkara perdata. Pembuktian dalam perkara pidana memiliki tujuan untuk mencari kebenaran materiil, yaitu kebenaran hakiki (sesungguhnya). Adapun pembuktian dalam perkara perdata memiliki tujuan untuk mencari kebenaran formil, yaitu hakim tidak boleh melewati batas-batas permintaan yang diajukan oleh para pihak yang berperkara.
BACA JUGA : memahami bentuk Putusan Pengadilan dalam Penyelesaian perkara pidana
Jadi, hakim perdata dalam mencari kebenaran formil cukup membuktikan dengan (preponderance of evidence) atau lebih mungkin terjadi, sedangkan hakim pidana dalam mencari kebenaran materiil, maka peristiwanya harus terbukti (beyond reasonable doubt) atau tanpa keraguan.
Dilihat dari aspek teori, terdapat 4 (empat) teori pembuktian, yaitu:
- Pembuktian menurut Undang-Undang secara positif (positive wetteljik bewijstheorie).
Dalam teori ini menyatakan bahwa pembuktian yang benar hanyalah berdasar Undang-Undang. Disini, hakim hanya diberikan kewenangan dalam menilai suatu pembuktian hanya berdasarkan pertimbangan Undang-Undang, sehingga menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dalam menilai suatu pembuktian di luar Undang-Undang.
- Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim saja (conviction intime).
Dalam teori ini, suatu pembuktian untuk menentukan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata hanya dinilai berdasarkan keyakinan hakim. Seorang hakim tidak terikat oleh macam-macam alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang. Hakim dapat memakai alat bukti tersebut untuk memperoleh keyakinan atas kesalahan terdakwa atau mengabaikannya. Alat bukti yang digunakan hakim hanya menggunakan keyakinan yang disimpulkan dari keterangan saksi dan pengakuan terdakwa.
- Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim secara logis (conviction raisonnee).
Dalam teori ini menekankan kepada keyakinan seorang hakim berdasarkan alasan yang jelas. Artinya, sistem pembuktian conviction intime memberikan keluasan kepada seorang hakim tanpa adanya pembatasan dari mana keyakinan tersebut muncul, sedangkan pada sistem pembuktian conviction raisonnee merupakan suatu pembuktian yang memberikan pembatasan keyakinan seorang hakim haruslah berdasarkan alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan atas setiap alasan-alasan yang mendasari keyakinannya atas kesalahan dari seorang terdakwa.
- Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara negatif (negatief wettellijk bewijs theotrie).
Teori ini merupakan suatu percampuran antara pembuktian conviction raisonnee dengan sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara positif (positive wetteljik bewijstheorie). Teori ini mengajarkan bahwa salah atau tidaknya seorang terdakwa ditentukan keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.
Pembuktian dalam Perkara Pidana
Berdasarkan 4 (empat) teori diatas, maka hukum acara pidana di Indonesia menganut sistem pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara negatif (negatief wettellijk bewijs theotrie) dengan didasarkan pada Pasal 183 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang menyatakan: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Adapun dasar alat bukti yang dijadikan pertimbangan hakim diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), yaitu:
- Keterangan saksi;
- Keterangan ahli;
- Surat;
- Petunjuk;
- Keterangan Terdakwa.
Pembuktian dalam Perkara Perdata
Dalam perkara Perdata, alat bukti yang diakui dan diatur dalam Pasal 1866 KUHPerdata. Dalam Pasal 1866 KUHPerdata alat bukti terdiri dari:
- Bukti tulisan;
- Bukti dengan saksi-saksi;
- Persangkaan-persangkaan;
- Pengakuan; dan
- Sumpah
BACA JUGA : Memahami Upaya Hukum Biasa dan Upaya Hukum Luar Biasa Dalam Hukum Acara Pidana
Referensi:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209
Seluruh informasi hukum yang ada di artikel ini disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum. Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan konsultan hukum berpengalaman dengan klik tombol konsultasi di bawah.
mantap pak infonya
makasih pak infonya
ok siap pak, makasih infonya
Pingback: Definisi, Unsur dan Jenis Tindak Pidana Penggelapan - Pengacara
Pingback: Definisi dan Jenis-Jenis Delik dalam Hukum Pidana - Pengacara